WIDYANTO, MARKUS and PRESTIANTO, BAYU PELATIHAN PENGGUNAAN BAHASA INGGRIS DI INSTAGRAM BESALEN_EMPU SUBANDI. KKB FEB Unika Soegijapranata. (Unpublished)
Text
Proposal Pelatihan Penggunan Bahasa Ingrris Untuk Instagram Besalen_Empu Subandi.docx Restricted to Registered users only Download (1MB) | Request a copy |
Abstract
Keris adalah salah satu jenis senjata tikam tradisional Indonesia, yang berbentuk pendek dan unik, yang hingga kini budaya keris masih berlangsung secara tradisional antara lain: Yogyakarta, Surakarta, Madura, Luwu, TMII Jakarta, Kelantan (Malaysia) dan di Bandar Sri Begawan. Pada zaman sekarang aktivitas budaya pembuatan keris masih berlangsung secara tradisional, seperti di daerah Yogyakarta, Surakarta, Madura Luwu ( Sulawesi selatan ), Jakarta, Kalimantan, dan Bali. Pada dasarnya kegiatan proses pembuatan keris yang disertai acara ritual dengan seperangkat sesaji sudah jarang dijumpai, para pembuat keris pada zaman sekarang kebanyakan melakukan proses sejak awal hingga selesai tanpa melakukan hal tersebut, apalagi aktivitas pembuatan keris yang dilakukan di berbagai besalen keris di Surakarta dan di lembaga pendidikan yaitu UPT Kajian Keris ISI ( Institut Seni Indonesia ) Surakarta, totalitas tanpa menggunakan acara ritual tertentu. Tetapi apabila dilihat secara eksoteri ( fisik ) mengenai nilai estetisnya cukup menarik apabila dibandingkan dengan karya para empu zaman dahulu. Keris secara utuh dalam tampilannya terbagi menjadi tiga bagian yaitu mata atau bilah, Hulu atau ukiran dan sarung atau warangka. Namun ketika membahas keris, hal yang pertama dibicarakan adalah mengenai bilahnya baru kemudian pelengkap atau warangka dan ukiranya. Ketiga elemen tersebut masing-masing merupakan satu rangkaian yang apabila dipisah maupun menjadi satu kesatuan yang utuh akan tetap memiliki makna tertentu. Kemudian definisi keris adalah senjata tusuk yang mempunyai, condong leleh, ganja, pesi serta ukuran tertentu. Keris Jawa mempunyai ukuran panjang maksimal 42 cm, ukuran normal 37 cm, ukuran minimal 30 cm. Sehingga dari unsur dan ciri tersebut menunjukkan keris memang berbeda dengan senjata tajam lainnya. Keris adalah benda seni yang meliputi seni tempa, seni ukir, dan pahat, seni bentuk serta seni perlambang. Bahan baku pembuatan keris adalah besi, baja, dan bahan pamor, bahan pamor ini ada beberapa jenis yakni batu meteorit, pamor luwu, pamor sanak dan logam nikel. Keris pada umumnya menyimpan nilai-nilai sebagai barang antik, karya seni dan kelangkaan, bahkan juga bisa ditambahkan punya daya spiritual tertentu. Bentuk dan kelengkapannya juga digunakan sebagai tanda eksistensi sosial masyarakat sebagai penanda mengenali kelompok sosial pemakainya. Salah satu fungsi bilah keris adalah sebagai senjata, sehingga keris tidak mungkin dipisahkan dari kelengkapannya, bila keris tidak memakai kelengkapannya akan sulit digunakan dan berbahaya karena ketajamannya dapat melukai pembawanya. Kelengkapan utama keris adalah hulu keris, yang terdiri dari pegangan kayu atau disebut ukiran dan mendhak yaitu semacam sekat antara ukiran dan ganja. Kelengkapan lainnya adalah sarung keris disebut warangka dan pembungkusnya berupa pendhok yang terbuat dari logam. Warangka dibuat dari kayu pilihan, pada tiap daerah di Jawa mempunyai bentuk kelengkapan keris tersendiri, daerah Surakarta berbeda dengan Yogyakarta, Cirebon, Jawa Timur dan daerah Banyumasan. Di Indonesia keris yang baik umumnya selain berpamor juga dihias lagi dengan emas murni, intan berlian dan batu mulia lainnya. Hiasan ini dibuat sebagai penghargaan si pemiliknya terhadap kerisnya. Atau dapat pula sebagai anugerah dari raja atas jasa pemilik keris itu. Hiasan pada bilah keris yang memiliki nilai paling tinggi adalah bila keris diberi tinatah. Ditinjau dari bentuk dan kelengkapan bagian-bagiannya, keris terbagi menjadi sekitar 250 dhapur keris. Bentuk bilahnya ada dua macam yaitu yang lurus dan luk (bergelombang). Ditinjau dari cara pembuatannya keris dapat dibagi tiga golongan yaitu keris ageman, yang mementingkan keindahan bentuk lahiriah (eksoteris) dari keris itu, golongan kedua adalah keris tayuhan, yang lebih mementingkan tuah dan kekuatan gaib (isoteris) keris tersebut, dan golongan yang ketiga adalah pusaka, yang tetap mementingkan keduanya ( Arifin MT, 2006: 232-237 ). Struktur bentuk keris Jawa pada dasarnya mempunyai bentuk ciri khusus, keris harus mempunyai empat bagian yang terdiri dari bagian atas disebut sebagai pucukan, bagian tengah awak-awakan atau badan dari keris, bangkekan merupakan pinggang keris sedang bagian yang paling bawah disebut sor-soran. Bagian sor-soran terdiri unsur disebut sebagai ricikan, atau anatomi bilah keris, dari kumpulan komposisi ricikan tersebut akan menentukan nama sebuah dhapur keris. Selain dilihat dari bentuk bilah keris juga dapat dibedakan dari sifat dan karakter bahannya, yaitu perbedaan jenis bahan baku yang berupa besi, baja dan pamor. Dalam pembuatan keris setiap kerajaan menggunakan bahan berbeda sehingga menimbulkan tekstur, warn warna dasar dari besi bilahnya yang dinamakan pamor sanak, yang keberadaannya masih berlangsung hingga sekarang ( Arifin MT, 2006: 157-158 ). Perkembangan keris di Indonesia belakangan ini cukup marak, hal ini dapat dilihat dengan munculnya produk-produk baru yang ikut melestarikan budaya warisan nenek moyang yang memiliki nilai adiluhung. Keris adalah karya agung warisan budaya yang sangat dihargai karena eksistensinya serta memiliki daya tarik terhadap masyarakat dunia. Sehingga keris telah diakui sebagai World Heritage of Humanity dari badan dunia yaitu UNESCO, ini merupakan bukti dari pengakuan dunia akan keris sebagai karya agung warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia. Keberadaannya masih dilestarikan hingga saat ini dengan kekaryaan yang dilakukan oleh para generasi muda yakni para pembuat keris di era setelah masa kerajaan Singasari-Surakarta, maka keris tetap eksis yang oleh kalangan masyarakat umum di sebut dengan keris kamardikan. Keris kamardikan memiliki dua makna, pertama yaitu keris-keris yang dibuat pada zaman setelah Indonesia merdeka, dimana kerajaan-kerajaan telah menyatu dalam Republik, kemudian makna kedua adalah kemerdekaan pada keris-keris yang diciptakan berdasarkan pada konsep-konsep baru yang bebas dan kreatif. Keris kamardikan telah mengalami pergeseran budaya keris yang tidak di bawah suatu hegemoni, bukan atas permintaan raja tetapi keris yang dapat mengaktualisasikan diri di tengah globalisasi yang menantang kreatifitas para seniman. Ada dua kategori bentuk dan ciri dari keris kamardikan, kategori pertama yakni karya dengan bentuk konvensial dalam kemahiran mendupiklat keris-keris tua dari zaman per zaman yang disebut “mutrani”, seiring hal tersebut Dharsono mengatakan bahwa berbagai keris yang telah ada dan telah dibuat lagi dengan cara meniru (mutrani) itu disebut tangguh dan kategori kedua yakni karya kontemporer adalah karya seniman keris yang memberi manfaat sebagai media ekspresi, tuangan estetika, semiotika momentum, pengutaraan kritik sosial, pesan kemanusiaan, pengharapan terhadap kekuatannya serta metafora dan lain-lain ( Toni junus, 2008 : 5 ). Dalam pengabdian ini yang akan menjadi objek pengabdian adalah besalen Empu Subandi Solo. Besalen adalah tempat membuat keris. Di besalen Empu Subandi pembuatan keris masih di kerjakan manual yaitu di tempa dan dikikir. Besalen menjadi semacam tempat workshop atau bengkel kerja untuk pembuatan keris. Empu keris biasanya di bantu oleh panjak atau juru tempa untuk membuat bilah keris. Besalen selalu mempunyai tempat tempa dan tungku untuk memanaskan logam-logam bakalan bilah keris.
Item Type: | Other |
---|---|
Subjects: | 300 Social Sciences 300 Social Sciences > 306 Culture and institutions |
Divisions: | Faculty of Economics and Business > Department of Management |
Depositing User: | Mr Bayu Prestianto |
Date Deposited: | 09 Feb 2021 05:40 |
Last Modified: | 09 Feb 2021 06:44 |
URI: | http://repository.unika.ac.id/id/eprint/23564 |
Actions (login required)
View Item |